Sebenarnya orang Indonesia cerdas

Sering sekali anda mendengar atau membaca kalimat di atas. Dan biasanya, ditujukan untuk seorang siswa yang tidak naik kelas. “Sebenarnya Budi itu pandai, tapi dia malas belajar sehingga tidak masuk kelas”

Coba kita berpikir sejenak, menganalisa kalimat di atas. Adakah makna yang tersirat? Baiklah, untuk membantu anda coba kita ganti dengan kalimat “Sebenarnya anda itu cantik”. Berarti fakta yang ada bahwa orang tersebut tidaklah cantik. Betul seperti itu? Jika saya lanjutkan kalimatnya “Sebenarnya anda itu cantik, hanya saja anda tidak merawat kulit kuning langsat anda, hidung mancung anda dan berbagai bagian tubuh anda yang menarik sehingga anda terlihat jelek”.

Mungkin kalimat itu akan terasa agak ‘sakit’ di telinga kita ketika ada seseorang yang mengucapkannya kepada kita. Karena anda sudah tervonis ‘jelek’. Dan masalah akan melebar jika kalimat itu tidak ditujukan kepada satu orang saja ‘personal’ tetapi untuk sebuah komunitas. Seperti kalimat judul artikel saya kali ini “Sebenarnya orang Indonesia cerdas”. Kenapa harus pakai kata ‘sebenarnya’ bukan ‘benarnya’ saja?,

‘Sebenarnya’ atau ‘Benarnya’?

Kata ‘sebenarnya’ muncul karena budaya. Budaya bangsa Indonesia terutama suku jawa, mereka mengemas suatu kata (kalimat) untuk mengekspresikan suatu keadaan tanpa menyinggung pembaca atau pendengar. Jadi intinya adalah untuk menjaga perasaan pendengar. Ada beberapa kalimat lain yang intinya sama, seperti “Video mesum mirip Ariel”, “Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”, saya belum mengerti apa yang anda maksudkan” dan beberapa kalimat dialog lain yang sering diucapkan masyarakat pada umumnya.

Tujuan positif dari pengucapan ini adalah penghormatan, sindiran halus, pemberian kesempatan, dan toleransi. Sekali lagi, itulah budaya yang sudah melekat di hati sanubari kita. Memang bagus, cenderung sopan, hanya saja akan berdampak buruk jika sindiran atau maksud baik penyampai itu tak bisa mengetuk hati pendengar dengan itikad baiknya. Dan malah cenderung menjadi trend atau budaya yang cenderung ‘santai’ dan tidak bangkit dari keadaan.

Fakta bangsa Indonesia cerdas

  1. Ir. Soekarno, sanga presiden RI yang pertama
  2. BJ Habibie, sang teknisi berdarah Indonesia yang memanfaatkan otaknya di Jerman.
  3. Liga Danone untuk pesepak bola cilik selalu mengukir prestasi di kancah internasional.
  4. Puluhan medali Olimpiade Internasional di bidang sains.
  5. David, mahasiswa di universitas singapura yang meninggal karena permasalahan ‘penemuan’nya.
  6. Icuk Sugiarto, pengayun raket yang legendaries.
  7. Sri Mulyani, ekonom cantik yang bersembunyi di belakang tirai Bank Dunia.
  8. Gajah Mada, dengan sumpah Palapanya.
  9. Jendral Sudirman, si lumpuh yang berjalan-jalan keliling pulau jawa.

Jika itu adalah sebagian kecil dari fakta bahwa orang Indonesia cerdas, kenapa harus ada kata ‘sebenarnya’?

Ada anekdot dengan lirik lagu “Nenek moyangku, seorang pelaut…”, yang jadi pertanyaan adalah kenapa hanya nenek moyang kita yang jadi pelaut handal (baca: Sriwijaya dengan kerajaan maritimnya). Terus kita jadi pelihat (baca: orang yang melihat) sejarah diukir nenek moyang kita?

Tag: ,

Tinggalkan komentar